Nama : Reni Inggriayani
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan
Etika dalam Ekonomi
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan
apakah etika dan ekonomi berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya
lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT
Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan
pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus
Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan
lebih mengutamakan penyelamatan issa-asetnya dari pada mengatasi soal
lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan
pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan
permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan
kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih
beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan
diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian
formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi
dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan
sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar
bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya
sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama
ekonomi adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus
itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya
melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat
dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan
etika dalam ekonomi . Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi ekonomi
melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Doug Lennick dan
Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence,
berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang
menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses
dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman,
2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci
utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh
integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita
merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua
hal berbeda. Memang beretika dalam ekonomi tidak akan memberi keuntungan
segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi ekonomi harus belajar untuk
berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah,
badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan
untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia. Sebuah
studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium
yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries,
Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk
yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa
menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability,
dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
BAB
II
MASALAH
Rukmana
(2004) menilai praktik ekonomi yang dijalankan selama ini masih cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis
tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan
sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni
Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya
dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit
birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah
terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai
tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok
untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman,
implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku
ekonomi/bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika ekonomi,
terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi
syariah selama ini masih cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang
mengkesampingkan konteks ekonomi itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi
syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah.
Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah,
namun potensinya cukup tinggi. Terhadap pengaruh kualitas sistem
kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang
sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan
mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi
Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih
belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini
untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum.
Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas
wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah
sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah
wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan.
Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahamimasalah etika dan moral
di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah
hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan
antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan
moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai
issal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati
dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya,
maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah
penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
BAB
III
ANALISI
Pentingnya Etika dalam Berekonomi
|
AGAR bisa bertahan hidup, setiap
manusia pasti melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tidak terkecuali
melakukan aktivitas ekonomi, sebagai salah satu cara. Pemenuhan kebutuhan
hidup, seperti sandang, pangan dan papan, harus ditempuh melalui kerja-kerja
ekonomi ini.
|
Namun,
dalam menjalani proses kegiatan ekonomi itu, manusia seringkali melanggar
etika. Manusia kerapkali melakukan kegiatan yang melabrak aturan dan
mencederai nilai-nilai kemanusiaan yang pada gilirannya, merugikan orang
lain. Kita ambil contoh, praktik monopoli dagang, penipuan, dan
praktik-praktik bisnis tidak etis lainnya.
Tidak jarang, bentuk pelanggaran dalam aktivitas ekonomi "terinspirasi" oleh literatur atau buku-buku tentang ekonomi yang beredar di masyarakat yang lebih banyak didominasi pemikiran ekonomi Barat, terutama ekonomi kapitalisme, yang menempatkan mekanisme persaingan dan pasar bebas yang bersemangat liberalistis-individualistis, bukan semangat kerja sama. Di sinilah kebuasan singa dalam persaingan mendapatkan tempatnya. Dalam distribusi barang dan jasa, para pelaku harus memperhatikan etika ekonomi yakni : a) Pemerataan 1. Pemerataan ke berbagai daerah, distribusi harus merata ke berbagai daerah yang membutuhkan. 2. Pemerataan kesempatan usaha, produsen besar harus memberikan kesempatan kepada pedagang eceran dan agen untuk berusaha. b) Keadilan 1. Keadilan terhadap produsen sejenis. Dalam memasarkan produk, tidak boleh saling menjatuhkan satu sama lain. Boleh memamerkan keunggulan, tetapi tidak boleh menjelekan produk lain. 2. Keadilan terhadap konsumen. Produsen sebaiknya memberikan informasi yang jelas, sehingga konsumen tidak dirugikan. Contoh : setiap kemasan dituliskan masa kadaluarsa dan lebel halal.
c)
Ketapan waktu dan kwalitas.
Masalah etika dalam ekonomi dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi
tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masingmasing
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima,
atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan
seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk
memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat
dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun
pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah
dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan
mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak
selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang
diharapkan oleh pemberi hadiah.
2.
Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa
atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa
ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan
industri terhadap seorang individu.
3.
Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja
dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4.
Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang
bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan
pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5.
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan
tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh
ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk
memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan
antara mereka yang 'disukai'dan tidak.
Tindakan tidak manusiawi (misalnya penerapan upah buruh murah, praktik eksploitasi sumber daya alam, dan seterusnya) di antara individu, masyarakat dan negara, masih menjadi tontonan kita sehari-hari. Akibatnya, kekayaan ekonomi tidak menjadikan kehidupan manusia sejahtera, makmur dan damai. Malah seringkali membawa malapetaka seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan pendapatan, kekerasan sosial, pengangguran, dan malapetaka-malapetaka lainnya. Inilah akibat dari sistem ekonomi kapitalis yang gagal. Para penganjur atau penganut ideologi kapitalisme yang mempersiapkan manusia menuju keadilan dan kemakmuran dunia dengan prinsip pasar bebasnya terbukti tidak berhasil. Krisis ekonomi yang memporak porandakan bangunan ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa belakangan ini adalah bukti nyata atas kegagalan ekonomi yang tidak terlalu memperhatikan nilai-nilai etis tersebut. |
Epistemologi
Etika Ekonomi Perilaku
etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah
ekonomi. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik
lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Perspektif Makro. Pertumbuhan
suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif
dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang
dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat
efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b) Kebebasan
memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi yang
akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market
system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi
keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro. Pengaruh
dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a.
Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih
dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b.
Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman
atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c.
Deceptive information
d.
Pecurian dan penggelapan
e.
Unfair discrimination.
2.
Perspektif Bisnis Mikro. Dalam
Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam
Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen,
karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup
makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga
kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.
Standar moral merupakan tolok ukur etika ekonomi. Dimensi
etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika ekonomi
cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang
dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu:
(1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika
yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai
etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2)
Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri
dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan
pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain:
(a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan
dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip
Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan
kesamaan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan
distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit
dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan
pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan,
pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari
tugas kerja, pajak dan kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu
keadilan yang terkait dengan retribution (gantirugi) dan hukuman
atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi
negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan
atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan
yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang
diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus
kerugian.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan
(rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam
pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat
dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau
buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu
berubah.
2.
Etika ekonomi adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan
manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan
ekonomi yang etik.
3.
Paradigma etika dan ekonomi adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah
menjadi paradigma etika terkait dengan ekonomi atau mensinergikan antara etika
dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang
baik yang dilandasi oleh etika ekonomi merupakan sebuah competitive
advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting
diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya
Etika dalam Dunia Ekonomi
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond. 2006. Etika Ekonomi.
Dalam Kompas Senin, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Buchholtz,
R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River,
N.J.: Prentice Hall.
Dalimunthe, Rita F. 2004. Etika
Ekonomi. Dalam Website Google: Etika Ekonomi danPengembangan Iptek.
DeGeorge, R. 2005. Business Ethics.
Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th ed.
Echols,
John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT
Gramedia, Jakarta
http://editfhotokeren.blogspot.com/2011/03/etika-dalam-ekonomi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar