Rabu, 04 Juli 2012

TUGAS FILSAFAT


Nama : Reni Inggriayani
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan Etika dalam Ekonomi
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan ekonomi berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan issa-asetnya dari pada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung. Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama ekonomi adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam ekonomi . Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi ekonomi melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam ekonomi tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi ekonomi harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia. Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.


BAB II
        MASALAH
Rukmana (2004) menilai praktik ekonomi yang dijalankan selama ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku ekonomi/bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika ekonomi, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi “emosional” saja dan terkadang mengkesampingkan konteks ekonomi itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak “mengenal” sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahamimasalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai issal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.





BAB III
           ANALISI
Pentingnya Etika dalam Berekonomi
AGAR bisa bertahan hidup, setiap manusia pasti melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tidak terkecuali melakukan aktivitas ekonomi, sebagai salah satu cara. Pemenuhan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan dan papan, harus ditempuh melalui kerja-kerja ekonomi ini.
Namun, dalam menjalani proses kegiatan ekonomi itu, manusia seringkali melanggar etika. Manusia kerapkali melakukan kegiatan yang melabrak aturan dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan yang pada gilirannya, merugikan orang lain. Kita ambil contoh, praktik monopoli dagang, penipuan, dan praktik-praktik bisnis tidak etis lainnya.

Tidak jarang, bentuk pelanggaran dalam aktivitas ekonomi "terinspirasi" oleh literatur atau buku-buku tentang ekonomi yang beredar di masyarakat yang lebih banyak didominasi pemikiran ekonomi Barat, terutama ekonomi kapitalisme, yang menempatkan mekanisme persaingan dan pasar bebas yang bersemangat liberalistis-individualistis, bukan semangat kerja sama. Di sinilah kebuasan singa dalam persaingan mendapatkan tempatnya.

Dalam distribusi barang dan jasa, para pelaku harus memperhatikan etika ekonomi yakni :
a)         Pemerataan
1.         Pemerataan ke berbagai daerah, distribusi harus merata ke berbagai daerah yang membutuhkan.
2.         Pemerataan kesempatan usaha, produsen besar harus memberikan kesempatan kepada pedagang eceran dan agen untuk berusaha.
b)         Keadilan
1.         Keadilan terhadap produsen sejenis.
Dalam memasarkan produk, tidak boleh saling menjatuhkan satu sama lain. Boleh memamerkan keunggulan, tetapi tidak boleh menjelekan produk lain.
2.         Keadilan terhadap konsumen.
Produsen sebaiknya memberikan informasi yang jelas, sehingga konsumen tidak dirugikan. Contoh : setiap kemasan dituliskan masa kadaluarsa dan lebel halal.

c)         Ketapan waktu dan kwalitas.
Masalah etika dalam ekonomi dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft),
Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masingmasing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai'dan tidak.

Tindakan tidak manusiawi (misalnya penerapan upah buruh murah, praktik eksploitasi sumber daya alam, dan seterusnya) di antara individu, masyarakat dan negara, masih menjadi tontonan kita sehari-hari. Akibatnya, kekayaan ekonomi tidak menjadikan kehidupan manusia sejahtera, makmur dan damai. Malah seringkali membawa malapetaka seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan pendapatan, kekerasan sosial, pengangguran, dan malapetaka-malapetaka lainnya.

Inilah akibat dari sistem ekonomi kapitalis yang gagal. Para penganjur atau penganut ideologi kapitalisme yang mempersiapkan manusia menuju keadilan dan kemakmuran dunia dengan prinsip pasar bebasnya terbukti tidak berhasil. Krisis ekonomi yang memporak porandakan bangunan ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa belakangan ini adalah bukti nyata atas kegagalan ekonomi yang tidak terlalu memperhatikan nilai-nilai etis tersebut.


Epistemologi Etika Ekonomi Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah ekonomi. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro. Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :

a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.
2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.
Standar moral merupakan tolok ukur etika ekonomi. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika ekonomi cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.


Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (gantirugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian.












BAB IV
KESIMPULAN
1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika ekonomi adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan ekonomi yang etik.
3. Paradigma etika dan ekonomi adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan ekonomi atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika ekonomi merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya Etika dalam Dunia Ekonomi








DAFTAR PUSTAKA


Baswir, Revrisond. 2006. Etika Ekonomi. Dalam Kompas Senin, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Buchholtz, R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River,
N.J.: Prentice Hall.
Dalimunthe, Rita F. 2004. Etika Ekonomi. Dalam Website Google: Etika Ekonomi danPengembangan Iptek.
DeGeorge, R. 2005. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th ed.
Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT
Gramedia, Jakarta
http://editfhotokeren.blogspot.com/2011/03/etika-dalam-ekonomi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar